JANGAN TERLALU MUDAH MENGKAFIRKAN ORANG LAIN
Salah satu hal yang perlu terus ditingkatkan adalah kesadaran untuk memperkuat hubungan antar sesama kaum muslim. Terutama dengan mereka yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dengan kita. Menghormati saudara-saudara kita yang sependapat, yang sama mazhab, sama aliran dengan kita, adalah hal yang tidak perlu ditekankan lagi. Namun, menghormati mereka yang berbeda dengan kita membutuhkan kemampuan untuk bertenggang rasa terhadap perbedaan.
Nabi Muhammad saw dalam haditsnya menegaskan:
اِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Bahwa perbedaan umatku adalah cerminan kasih sayang Allah SWT.
kepada umat-Nya. Perspektif melihat perbedaaan sebagai rahmat ilahi dewasa ini kurang diamalkan dengan baik. Banyak dari kita yang masih alergi dengan perbedaan dalam pendapat dan pandangan fiqih. Padahal perbedaan pandangan fiqih termasuk kategori khilafiyyah furu‘iyyah, perbedaan cabang, bukan pokok, sehingga tidak seharusnya menjadi dasar terpecah-belahnya sesama Muslim. Hari ini kita amati, sebagian umat Islam justru mudah tersulut oleh perbedaan masalah furu‘iyyah dan melupakan bahwa dalam masalah ushuliyyah kita masih sama. Sama dalam mengesakan Allah, sama dalam meyakini adanya hari akhirat, sama dalam mengimani Malaikat, Kitab Suci, Para Nabi, Qadha dan Qadhar Allah, serta sama dalam meyakini rukun Islam yang lima.
Mudahnya kita tersulut oleh perbedaan makin diperparah oleh perbedaan pandangan politik antara kita. Perbedaan politik membuat sebagian dari kita gampang men-cap kafir mereka yang tidak sepaham. Gejala mengkafirkan atau takfiri seperti ini mengingatkan kita pada sejarah kelam pasca meninggalnya Sahabat Utsman bin Affan yang memunculkan gesekan antara yang pro Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan yang pro terhadap sahabat Muawiyah. Dalam sejarah disebutkan bahwa saat itu terdapat orang-orang yang rela membuat hadits palsu guna mendukung gerakan politiknya, ada yang dengan mudahnya menyebut halal darahnya bagi mereka-mereka yang tidak sepaham dengan gerakannya. Hingga kemudian kita tahu sendiri bahwa pada akhirnya Sayyidina Ali bin Thalib meninggal saat melaksanakan shalat Subuh karena ditusuk dari belakang oleh lawan politiknya.
Fenomena mengkafirkan sesama muslim yang saat ini sering kita lihat di sekitar kita secara mendasar hampir sama dengan kejadian yang menimpa Sayyidina Ali yang notabene sepupu dan menantu dari Nabi Muhammad Saw. Hanya karena perbedaan dalam pandangan fiqih yang furu‘iyyah ditambah dengan perbedaaan pandangan dan sikap politik, sebagian kita dengan mudah mencap yang lain telah kafir, menuduh mereka munafik, dan mengatakan mereka dengan julukan-julukan lain yang merendahkan martabatnya.
Allah Subhanahu Wata’ala melarang kita memaki sesembahan kaum agama lain apalagi memaki dan men-cap kafir sesama kaum muslimin. Di dalam Al-Quran Surat Al-An’am ayat 108 Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya:"Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan balas memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan."
Dari ayat ini seharusnya kita mampu belajar bahwa Allah Rabbul ‘Izzah meminta kita untuk menghormati keyakinan orang lain meskipun keyakinan itu bertolak belakang dengan keimanaan kita. Sikap menghina dan menistakan keyakinan agama lain tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi Islam dan iman kita. Justru malah membuahkan perilaku yang kontra produktif, dimana keyakinan kita akan dilecehkan oleh mereka yang keyakinannya kita lecehkan. Padahal Islam mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama karena seharusnya setiap orang dapat mencerna mana yang benar dan mana yang salah.
Mengolok penganut agama lain saja dilarang, apalagi tindakan mengolok dan dengan mudahnya mengatakan kafir kepada sesama kaum muslimin. Hal ini selaras dengan Hadits Nabi Muhammad saw:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى نُشْبَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيْمَانِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ تُكَفِّرْهُ بِذَنْبٍ وَلاَ تُخْرِجْهُ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِى الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ وَالإِيمَانُ بِالأَقْدَارِ
Artinya:"Diriwayatkan dari Sa’id bin Manshur dari Abu Mu’awiyah dari Ja’far bin Burqan dari Yazid bin Abu Nusybah dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: "Ada tiga hal yang merupakan bagian dari dasar iman, yakni (1) menjaga lisan dari orang yang telah mengucapkan "La ilaha illallah". Jangan mengafirkan mereka sebab suatu dosa serta jangan mengeluarkan mereka dari Islam sebab suatu perbuatan; (2) jihad yang tetap berlaku sejak Allah mengutusku hingga akhir dari umatku membunuh Dajjal. Keberlakuan itu tidak akan gugur sebab kekejaman orang yang jahat dan tidak juga sebab keadilan orang yang adil; (3) dan iman dengan qadar Allah:"(HR Abu Dawud dan al-Baihaqi)."
Terdapat tiga hal yang menjadi penekanan hadits ini dalam rangka membina iman kita sebagai kaum muslimin. Hal yang pertama justru merupakan dasar iman, yaitu menjaga lisan kita agar tidak menyakiti orang-orang yang telah mengucapkan kalimat syahadah, La Ilaaha Illallah. Dengan menjaga lisan kita, kita terhindar melukai perasaan mereka, menuduh mereka telah kafir, munafik, atau tersesat dari jalan Allah. Hanya karena mereka melakukan perbuatan dosa, yang kita sendiri tidak ada yang luput dari salah dan dosa. Siapa kita sehingga berwenang menilai dan menghakimi iman seseorang padahal Yang Maha Tahu isi hati kita dan kualitas keimanan kita hanyalah Allah. Dialah hakim yang sesungguhnya.
Dalam hadits lain Nabi Muhammad saw melarang keras mengkafirkan sesama Muslim:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ قَالَ حَدَّثَنِيْ مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرٌ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
Artinya:"Seandainya seseorang mengatakan Wahai Kafir kepada saudaranya sesama kaum muslimin, maka tuduhan kafir tersebut akan kembali kepada salah satu di antara keduanya."
Nabi Muhammad mengingatkan kepada kita bahwa apa yang orang tuduhkan kepada orang Islam maka tuduhan itu berpotensi kembali kepada diri penuduh. Oleh karena itu, patut kita renungkan dengan seksama peringatan Nabi di atas dengan cara menjaga lisan kita, dan hendaknya kita berpikir baik-baik sebelum menuduh orang lain kafir.
Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan sebuah komentar dalam kitabnya Fath al-Bari:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ مَنْ أَكْفَرَ الْمُسْلِمَ نَظَرَ فَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ تَأْوِيْلٍ اِسْتَحَقَّ الذِّمُّ وَرُبَّمَا كَانَ هُوَ الْكَافِرُ وَإِنْ كَانَ بِتَأْوِيْلٍ نَظَرَ إِنْ كَانَ غَيْرُ سَائِغٍ اِسْتَحَقَّ الذِّمُّ أَيْضًا وَلَا يَصِلُ إِلَى الْكُفْرِ بَلْ يُبَيِّنُ لَهُ وَجْهُ خَطْئِهِ وَيَزْجِرُ بِمَا يَلِيْقُ بِهِ
Kesimpulan dari hadits di atas, seseorang yang mengkafirkan seorang Muslim, maka harus diteliti. Apabila ia menuduh tanpa adanya bukti maka ia pantas mendapatkan celaan, dan bisa jadi justru dia sendirilah yang kafir. Dan apabila ia menuduh dengan adanya bukti maka harus pula diperhatikan. Sekiranya buktinya kurang kuat, maka dia pantas mendapatkan celaan. Yang harus dilakukan adalah berikan penjelasan kepadanya dimana letak kesalahannya, bila perlu menegurnya dengan baik-baik, tanpa harus diberikan cap kafir kepadanya.
Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada kita untuk bertutur kata yang baik, berpikir sebelum bertindak, bersikap bijaksana terhadap orang lain yang menurut kita berbuat salah. Nabi Muhammad Saw telah mengajarkan kepada kita sikap menghormati orang lain yang berbeda bukan hanya dengan kata-kata, melainkan dengan praktik dan perbuatan yang nyata. Penghormatan Nabi di sini tak sebatas kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengan dirinya, tapi bahkan kepada orang atau kelompok yang sedang memusuhinya. Maka benarlah ungkapan sebuah hadits shahih:
أَحَبُّ الدِّيِنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Artinya:"Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang lurus nan toleran."
Posting Komentar untuk " JANGAN TERLALU MUDAH MENGKAFIRKAN ORANG LAIN"