Salah Kaprah Penyebutan WAKAF Masjid dan Mushala
Salah Kaprah Penyebutan WAKAF Masjid dan Mushala
Banyak orang yang masih bingung membedakan antara masjid dan mushola. Ada yang memahami bahwa masjid adalah tempat orang melakukan shalat Jumat dan mushara adalah tempat orang melakukan shalat lima waktu di luar shalat Jumat.
Ketidaksepakatan juga muncul pada pertanyaan musala wakaf. Beberapa orang melihat wakaf dan memahami status masjid, sementara yang lain menganggap itu bukan masjid. bagaimana dengan deskripsinya? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mushara (KBBI menggunakan kata 'musala') diartikan sebagai tempat salat, langar atau surau. Masjid adalah rumah atau bangunan di mana umat Islam berdoa, tetapi dalam istilah Syariah, itu adalah tempat yang dihibahkan untuk berdoa dengan tujuan mengubahnya menjadi masjid. Mushara merupakan tempat salat yang mutlak, baik berupa sumbangan, harta pribadi maupun subsidi. Dari pengertian ini jelas bahwa masjid sudah pasti wakaf, tetapi mushara belum tentu wakaf. Dari definisi ini juga dapat dipahami bahwa penggunaan ruang untuk pertemuan sholat Jum'at ditentukan oleh shigat (ucapan) wakaf, bukan oleh prinsip-prinsip yang menentukan status masjid. Jika ada tanah yang diwakafkan untuk masjid, maka statusnya adalah masjid meskipun tidak pernah digunakan untuk sholat Jum'at.
Dari definisi di atas, para ahli hukum Syafiya menjelaskan bahwa tidak semua tempat yang diwakafkan untuk shalat berstatus masjid. Tapi harus jelas dari sigat/sambutan wakhu. Shigat Wakaf masjid terbagi menjadi dua. Pertama, syari (jelas), yaitu semua ucapan yang secara eksplisit merujuk pada sumbangan masjid, tidak dapat dialihkan ke makna lain. Kedua, tuturan yang dapat menunjukkan kinaya, perabot masjid dan makna lainnya. Untuk menjadi masjid, hihat chalay tidak perlu niat, tapi hihat kinaya membutuhkannya.
Contoh ungkapan shali dalam sedekah masjid adalah “tanah ini akan saya jadikan masjid”, “tanah ini akan saya hibahkan untuk masjid”. Deklarasi wakaf semacam ini saja membenarkan status harta sebagai masjid, meskipun tidak ada niat untuk menjadikannya masjid.
Contoh hi-hat kinaya adalah "Saya mendedikasikan tempat ini untuk doa-doa saya." Ungkapan tersebut secara spesifik merujuk pada makna wakaf yaitu singkatan dari tempat shalat, khususnya makna wakaf masjid, namun hal ini masih bersifat sugestif (belum terkonfirmasi). Ada dua kemungkinan makna untuk ucapan ini: wakaf mushara biasa dan wakaf masjid. Oleh karena itu, untuk memperoleh status mesjid, seseorang harus ditakdirkan menjadi mesjid. Jika tidak dimaksudkan sebagai masjid, itu tidak akan menjadi masjid, itu hanya akan menjadi wakaf untuk sholat.
Status negara sebagai masjid memiliki implikasi hukum yang berbeda dengan wakaf mushara biasa, seperti larangan diam bagi genub, pembenaran itikaf, dan peningkatan pahala sholat. Mushara wakaf dengan demikian tidak sah sebagai tempat Itikaf, dan penduduk Genub tidak dilarang berada di sana. Berbeda dengan wakaf masjid, hukum masjid berlaku, termasuk keabsahan itikaf, larangan mendiamkan wanita haid.
Uraian di atas berkaitan dengan referensi dari kitab Umdah al-Mufti wa al-Mustafti seperti:
مَسْأَلَةٌ قَالَ الْمَنَاوِي فِي التَّيْسِيْرِ قَوْلُهُ وَقَفْتُ هَذَا لِلصَّلَاةِ صَرِيْحٌ فِي وَقْفِهِ لِلصَّلَاةِ كِنَايَةٌ فِي خُصُوْصِ وَقْفِهِ مَسْجِدًا فَإِنْ نَوَى بِهِ الْمَسْجِدَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلَّا فَلَا كَالْمَدْرَسَةِ. وَأَمَّا الْمَسْجِدُ فَأَمْرٌ زَائِدٌ يَكْثُرُ فِيْهِ الْأَجْرُ وَيُعْتَكَفُ فِيْهِ وَيَحْرُمُ عَلَى ذِي الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ الْمُكْثُ فِيْهِ وَلَهُ أَحْكَامٌ زَائِدَةٌ عَلَى مَا وُقِفَ لِلصَّلَاةِ كَمُصَلَّى الْعِيْدِ فَإِنَّهُ وَقْفٌ لِلصَّلَاةِ وَلَيْسَ لَهُ حُرْمَةُ الْمَسْجِدِ وَلَا يَصِيْرُ وَقْفًا بِالْإِذْنِ بِالصَّلَاةِ فِيْهِ.
“Sebuah permasalahan. Al-Manawi berkata dalam kitab Al-Taisir, ucapan seseorang aku mewakafkan tempat ini untuk shalat tegas mengarah kepada makna mewakafkan untuk shalat, kinayah untuk kekhususan wakaf masjidnya, bila ia meniatkannya sebagai masjid, maka berstatus masjid, bila tidak ada niat, maka tidak menjadi masjid seperti wakaf madrasah. Adapun masjid adalah perkara yang memiliki nilai lebih yang banyak pahala di dalamnya, sah dibuat I’tikaf, dan haram bagi yang berhadats besar berdiam diri di dalamnya. Masjid memiliki hukum-hukum yang melebihi tempat yang diwakafkan untuk shalat, seperti mushala shalat ‘Ied, sesungguhnya mushala tersebut diwakafkan untuk shalat namun tidak memiliki kehormatan seperti masjid. Dan tidak menjadi wakaf dengan memberi izin shalat di dalamnya” (Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal, ‘Umdah al-Mufti wa al-Mustafti, juz 2, hal. 258). Uraian di atas pernah disinggung oleh para kiai dalam forum Muktamar Nahdlatul Ulama ke-10 di Surakarta pada tanggal 10 Muharram 1354 H/April 1935 M. Berikut ini bunyi keputusannya:
Pertanyaan: Bagaimana hukumnya tempat yang diwakafkan untuk shalat, apakah tempat ini akan menjadi masjid seperti yang tertulis di kitab Safina? Jawaban: Suatu tempat tidak bisa menjadi masjid kecuali memang dimaksudkan demikian. bagian
Posting Komentar untuk "Salah Kaprah Penyebutan WAKAF Masjid dan Mushala"