HAJI ADALAH PANGGILAN ALLAH SWT
Di antara lima rukun Islam, haji merupakan ibadah yang tergolong "mewah dan berat". Bukan hanya karena membutuhkan ongkos yang mahal bagi kebanyakan orang, tapi juga pelaksanaannya memakan waktu dan energi yang cukup banyak. Kesadaran akan keterpanggilan pun sangat menentukan. Betapa banyak orang kaya raya yang tak berangkat haji. Sebaliknya, betapa sering kita mendengar orang dengan ekonomi pas-pasan mampu menunaikan haji. Karena itu, tak heran bila haji adalah rukun yang paling jarang dipenuhi dibanding empat rukun lainnya, entah karena sengaja atau karena ada uzur syar’i.
Keramaian tentang ibadah haji biasanya sudah mulai kita dengar pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah berlanjut kemudian Dzulhijjah yang memang menjadi momentum utama pelaksanaan haji. Dzulhijjah secara bahasa berarti bulan haji. Memasuki bulan ke-10 atau ke-11 orang-orang sudah disibukkan dengan tradisi walimatus safar atau syukuran menjelang keberangkatan haji. Media-media pun telah ramai memberitakan berbagai persiapan dan aktivitas di Tanah Suci. Mari kita do'akan kepada saudara-saudara yang sedang menempuh perjalanan mulia ini, semoga senantiasa mendapat bimbingan dari Allah dan menghasilkan haji yang mabrur!
Di tengah hiruk pikuk orang berangkat haji itulah, orang-orang yang belum mendapat anugerah berangkat haji terpacu lagi gairahnya untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Semangat mereka seolah dipompa kembali, angan-angan agar bisa mengenakan pakaian ihram dan mengitari Ka’bah hidup lagi. Sebuah mimpi dan kehendak yang amat wajar.
Kewajiban haji salah satunya tertuang dalam Al Qur'an:
وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya:"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah:"(QS Ali Imran :97).
Ayat ini kerap kita muncul dan dengar dalam konteks penjelasan tentang kewajiban berhaji bagi yang mampu. Dijelaskanlah tolok ukur mampu mulai dari segi ekonomi, kesehatan fisik, transportasi, keamanan, dan lainnya. Keterangan tersebut mengacu pada frasa dalam ayat: man-istatho‘a ilaihi sabilan. Yang kerap tertinggal dari penjelasan tersebut justru frasa di awal: lillah (untuk Allah).
Lillah dalam ayat tersebut amat krusial karena merupakan ruh dari kewajiban haji. Semampu apa pun seseorang berhaji ia mesti memancangkan niatnya secara serius untuk semata karena dan kepada Allah Ta’ala. Jika kata "haji" secara bahasa berarti menyengaja, maka inti dari kesengajaan itu sepenuhnya tertuju pada maksud tulus menggapai ridha Allah Subhanahu Wata'ala.
Bila keinginan kita ke Tanah Suci kembali meledak-ledak di musim haji ini, untuk siapa atau untuk apakah keinginan itu? Adakah yang terbesit selain beribadah kepada Allah di balik keinginan tersebut?
Di luar keperluan ibadah, haji tak dipungkiri memang mengandung kepentingan lain yang bersifat duniawi.
1)_Pertama, secara sosial, haji bisa membuat seseorang merasa "naik kelas" karena faktor budaya yang berkembang di masyarakat kita. Biaya haji yang tidak sedikit memberi kesan bahwa orang haji adalah orang mampu, mapan, dan kaya. Gelar "haji" yang diperoleh sepulang nanti juga kian menambah citra kesalehan dan kehormatan diri. Dengan demikian status sosial pun meningkat dari "biasa-biasa" saja menjadi "luar biasa".
Penyakit hati yang mengiringi kondisi ini biasanya adalah sombong, ujub, dan merasa "lebih" dari orang lain. Godaan jenis ini adalah yang paling sering menjangkiti jamaah haji atau siapa pun yang berkeinginan berangkat haji. Keuntungan duniawi yang diraup setelah pulang haji nanti tak jarang melenakan tujuan hakiki haji, yakni menunaikan pilar kelima dalam Islam tulus karena Allah Subhanahu Wata'ala. Gejala ini biasanya tampak ketika sepulang haji seseorang banyak berubah pada tataran penampilan ketimbang perilaku.
2)_Kedua, haji sebagai wahana jalan-jalan dan bersenang-senang. Bagi orang yang belum ke Makkah dan Madinah—apalagi belum pernah ke luar negeri mana pun—haji bisa jadi merupakan kemewahan tersendiri. Gambaran suasana Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Ka’bah, padang Arafah, atau bukit-bukit di tanah Arab yang biasanya hanya terpampang dalam foto dan media elektronik, akhirnya dialami secara nyata.
Dalam suasana psikologis demikian, tak jarang haji adalah sekaligus momentum berbelanja, selfie (swafoto), dan berkunjung ke tempat-tempat menarik. Penyakit haji yang biasanya menyertai adalah pamer, boros (mubazir), dan semacamnya.
Imam al-Ghazali dalam Al-Adab fid Din berpesan bahwa saat seseorang sampai di kota Makkah seyogianya menerapkan etika-etika yang patut, semisal memasuki Masjidil Haram dengan penuh rasa takzim, menyaksikan Ka’bah sembari takbir dan tahlil, dan lain sebagainya. Intinya, adab yang penting ditonjolkan adalah sikap rendah hati, sopan, tulus, dan penuh dengan gerak-gerik yang mengagungkan Allah.
Di luar ada kedua motif status sosial dan jalan-jalan, dorongan lain seseorang datang ke Tanah Suci bisa jadi adalah meraup keuntungan ekonomi. Motif ini lazimnya melekat pada diri para pelaku bisnis yang mendapatkan berkah dari musim haji. Membludaknya jama'ah adalah potensi pasar yang nyata. Momentum yang tepat adalah surga bagi komoditas untuk laris di pasaran.
Sesuai dengan namanya, haji adalah persoalan menata niat, sebelum hal-hal lain menyangkut ongkos, transportasi, dan aktivitas manasik. Keliru menata niat akan berakibat pada kerugian yang besar, mengingat pengorbanan yang dicurahkan untuk ibadah haji juga besar. Bukankah sia-sia belaka membangun istana megah di atas fondasi yang rusak? Secara fiqih ibadah haji mungkin sah, tapi secara hakiki bisa jadi keropos baik sejak sebelum berangkat haji, saat berhaji, bahkan setelah berhaji. Ini adalah tantangan yang amat sulit karena memang berurusan dengan persoalan hati. Apa yang terbesit di benak dan hati seseorang ketika dirinya berkeinginan naik haji? Sudah tuluskah karena ingin menghamba dan mencapai ridha Allah? Atau masih tercampur dengan noda-noda duniawi yang dapat merusak kualitas haji?
Bagi yang baru pada level ingin berangkat haji, ikhtiar mesti dimulai dari perjuangan menata niat, sembari mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan lain yang senantiasa dilumuri dengan do'a kepadanya. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kesempatan berkunjung ke Baitullah dan berziarah ke makam Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Bagi saudara-saudara kita yang sedang bersiap menunaikan ibadah haji, semoga diberi kelancaran dan menggapai tujuan hakiki haji, yakni ridha Allah Subhanahu wata'ala.
Posting Komentar untuk "HAJI ADALAH PANGGILAN ALLAH SWT"