LARANGAN BERSIKAP GHULLUW DALAM ISLAM
Ajaran Islam menolak sikap berlebihan. Meskipun dalam realitas sejarah ada penganutnya yang berperilaku berlebihan dengan mengatasnamakan agama. Fakta ini bukan monopoli Islam. Hampir semua agama memiliki kasus bahwa ada sebagian umatnya yang sangat fanatik, berpikiran picik, lalu nekad melakukan tindakan melampaui batas yang berseberangan dengan nurani dan ajaran luhur agama. Idealitas ajaran memang satu hal, sementara kenyataan sejarah adalah hal lainnya.
Dalam khazanah Islam, ulasan tentang beelebihan didapati dalam sejumlah istilah seperti ghuluw, tatharruf, atau lainnya. Secara bahasa kedua istilah itu memiliki arti yang mirip, yakni sikap extrem, melampaui batas, keterlaluan, ekstremnya.
Rasulullah sendiri empat belas abad yang lalu mewanti-wanti umatnya agar menjauh dari sikap ghuluw.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ ؛ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
Artinya:"Wahai manusia, jauhilah berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama:"(HR Ibnu Majah).
Hadits ini memberi peringatan bahwa ghuluw punya fungsi penghancur bila dilakukan. Hal tersebut sebagaimana terjadi pada umat-umat terdahulu. Selain mengajak untuk belajar pada sejarah, yang menarik Nabi menggunakan redaksi “ya ayyuhan nas” yang berarti “wahai umat manusia”, bukan “ya ayyuhal ladzina amanu” (wahai orang-orang beriman). Kenyataan ini menunjukkan bahwa bahaya sikap berlebih-lebihan bersifat universal, mencakup semua orang di berbagai belahan dunia, apa pun latar belakang agama dan keyakinannya.
Dalam kalimat yang agak berbeda, Rasulullah juga bersabda:
هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
Artinya:"Pasti akan binasa orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama:"(HR Muslim).
Menurut Imam Nawawi, al-mutanaththi‘un berarti orang-orang yang memperdalam dan berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang melampaui batas, baik perkataan-perkataan maupun perbuatan mereka. Ia menjelaskan demikian ketika memberi syarah (penjelasan) kitab Shahih Muslim.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa suatu hari ada sekelompok orang yang mengatakan “Aku tidak menikah”; sebagian lain berkata “Aku shalat terus-menerus dan tidak tidur”; sebagian lagi bilang “Aku puasa dan tidak berbuka”. Ketika informasi itu sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٌ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya:"Bagaimanakah bisa orang-orang tersebut mengatakan demikian dan demikian? Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan aku pun menikah. Barangsiapa yang membenci syariatku, dia bukanlah bagian dari golonganku."
Para sahabat Nabi berkata begitu karena ingin menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam beribadah hingga mengabaikan kepentingan fisik mereka. Mereka rela melawan rasa kantuk, lapar, dan keinginan menikah, lantaran sibuk dengan ritual ibadah. Namun, Rasulullah yang mendengar kabar itu justru menampik anggapan positif dari pernyataan mereka. Nabi justru membandingkan tindakan mereka dengan diri beliau sendiri sebagai pengemban risalah suci, perantara turunnya syariat dari Allah. Ternyata Rasulullah tak seekstrem itu dalam menjalankan agama.
Rasulullah sebetulnya hendak mengingatkan tentang adanya batasan-batasan, termasuk dalam menjalan kebaikan sekalipun. Jangan sampai ibadah melampaui kewajaran sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan fisik dan kebutuhan-kebutuhan jasmani yang wajib diperhatikan. Tidak ada yang lebih giat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan Islam kecuali Rasulullah, namun faktanya beliau menjalankan aktivitas sehari-sehari sewajarnya manusia pada umumnya. Beliau sangat total dalam menjalankan syariat tapi sekaligus sangat bertanggung jawab atas kebutuhan fisik yang menjadi sarana ibadha itu sendiri.
Sikap ghuluw tidak hanya terjadi pada kasus ibadah fisik seperti shalat atau puasa, tapi juga bisa terjadi pada ideologi atau keyakinan. Orang yang berlebihan dalam hal keyakinan umumnya akan menganggap siapa pun di luar dirinya sebagai “orang sesat”. Mereka eksklusif atas kemungkinan kebenaran dari pihak lain, mengingkari keragaman pendapat, dan cenderung memaksakan kehendak untuk mewujudkan pemahaman dan tafsirnya ke dunia nyata.
Pemikiran yang berlebihan inilah yang menjadi salah satu cikal bakal tindakan ekstrem. Mereka memandang dunia “serba gelap” karena tidak sesuai dengan pemahamannya. Mereka meyakini bahwa kehidupan melenceng dari kebenaran agama dan harus diluruskan. Mereka tidak bisa membedakan antara kebenaran agama dan tafsir mereka atas kebenaran itu. Tidak semua yang berbeda dengan tafsir seseorang berarti berseberangan dari ajaran agama. Kebenaran Islam bersifat mutlak, tapi pemahaman pemeluknya atas kebenaran itu selalu bersifat relatif. Manusia hanya bisa berikhtiar mencapai yang terdekat dengan kebenaran.
Itulah sebabnya Islam melarang umatnya gampang menghakimi sesat orang lain, mudah memvonis kafir orang lain, dan gampang menyalah-nyalahkan, terlebih kepada saudara seiman dan seagama. Hal demikian berangkat dari kesadaran bahwa hanya Allah yang memiliki kewenangan untuk menilai juga memberikan balasan atas perilaku seseorang.
Pemutlakan pendapat biasanya juga tidak hanya berhenti di level individu, melainkan pula hingga level kelompok. Inilah yang kemudian melahirkan fanatisme golongan. Kondisi mirip dialami oleh suku-suku zaman jahiliyah yang sarat kepentingan karena masing-masing menganggap kelompoknyalah yang paling unggul, istimewa, dan benar. Literatur Islam menyebutnya ‘ashabiyyah. Ibnu Mandzur dalam Lisanul ‘Arab mengartikan ‘ashabiyah (fanatisme) sebagai sikap seseorang yang dalam mengajak orang lain untuk memenangkan kerabatnya, bergabung bersama mereka dalam menghadapi orang-orang yang menentang, (tak peduli) baik saat mereka yang berbuat zalim ataupun mereka yang dizalimi.
Fanatsime merupakan ekstremitas yang berada pada level yang lebih dalam, yakni mencakup keyakinan sekaligus perbuatan. Ini tentu berbahaya karena mengandaikan perbuatannya tak pernah salah karena sudah merasa dilandasi oleh pemikiran “yang benar”. Para pengidap penyakit ini rentan dibutakan oleh kebenaran semu sehingga tidak lagi jelas apakah ia sedang dizalimi atau justru mezalimi orang lain. Benih-benih aksi kekerasan, terorisme, atau penghalalan darah orang lain biasanya muncul dari pola keberagamaan semacam ini. Misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) pun direduksi menjadi sekadar memenuhi ambisi dan kepentingan segelintir golongan saja, tanpa memikirkan tanggung jawab terhadap kepentingan yang lebih luas.
Dalam dua hadits Rasulullah yang disebutkan di awal dijelaskan bahwa orang semacam ini tidak hanya halaka (binasa) tapi juga ahlaka (membinasakan). Artinya, dampak buruknya tidak hanya ditanggung dirinya sendiri tapi juga menimpa orang lain secara luas. Perilaku ekstrem menggerogoti harmoni kehidupan masyarakat yang majemuk, merusak kerukunan, bahkan memicu pertengkaran da pertumpahan darah. Na’udzubillah min dzalik.
Semoga kita bisa terhindar dari sikap-sikap dan pemahaman yang demikian dan dibimbing oleh Allah subhanahu wata‘ala tetap kokoh iman hingga akhir hayat serta istiqamah dalam cara berpikir dan bersikap yang lurus, adil, dan terbuka, sesuai pesan hadits:
أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْــــــفِيَّةُ السَّـــمْحَةُ
Artinya:"Agama yang paling dicintai allah adalah agama yang lurus dan toleran:"(HR Bukhari).
Posting Komentar untuk " LARANGAN BERSIKAP GHULLUW DALAM ISLAM"